Langsung ke konten utama

Postingan

Kota Wali dan Anasir "Kemislam"

KOTA wali sebagai penyebutan untuk Kota Cirebon awal kali lahir dari Walikota Khumaedi. Pada tahun 1996 dia meluncurkan kebijakan untuk mencitrakan Kota Cirebon sebagai kotanya wali, kotanya orang yang disucikan umat Islam. SAYANGNYA , kesan islamilah yang kemudian muncul dari frase "kota wali". Dan hingga hari ini, semangat "kemislam" itu terus dikukuhkan dengan melupakan semangat kewalian atau "walayah" yang sebenarnya. Saat ada yang menyebut kota wali, seolah muncul penegasan tentang daerah tersebut islamis. Dalam konteks Cirebon, pada awalnya ide "kota wali" tersebut muncul baru-baru saja. Dan lebih karena besarnya pengaruh politik identitas yang sempit. Juga untuk tujuan pariwisata. Bukan berasal dari para pendiri Cirebon, apalagi Sunan Gunung Jati. Ada tiga alasan kenapa saya tidak sepenuhnya sependapat, bahkan menolak, anasir-anasir islamis dalam frase "Cirebon kota wali". Pertama, wali dan kewalian atau "walay
Postingan terbaru

Ziarah Menangkal Radikalisme

DI tengah berbagai media yang memberitakan Indonesia dengan situasi Islam yang mencemaskan, seorang profesor dari Australian National University (ANU), George Quinn menerbitkan sebuah buku yang seolah menampik segala citra betapa kaum Islam radikal sedang menguasai negeri. Buku “Bandit Saints of Java: How Java’s eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in modern Indonesia” mengungkapkan secara naratif tentang praktik ziarah di kuburan Walisanga di Jawa dan juga di pulau sekitarnya. Tradisi ini barangali dianggap sebagai hal biasa saja bagi orang Jawa karena sudah berjalan begitu apa adanya. Meski sebagian orang Islam sendiri mengatakannya sebai bidah. Tapi bagi orang luar seperti Quinn, tradisi ziarah membawanya pada sebuah kesimpulan yang berbeda dari kebanyakan orang. Bagi Quinn, ziarah adalah satu potret bagaimana Islam di Jawa, umumnya di Nusantara, dipraktikkan secara beragam dan dirayakan dengan segala macam perbedaan. Kecemasan tentang munculnya Isl

Spiritualitas Gamelan

Dalam kosmologi Jawa kuno dikatakan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat roh dan jiwa yang mengalunkan irama harmonis, sejalan dengan irama alam semesta.  SEBALIKNYA , alam semesta juga memancarkan irama yang bisa ditangkap oleh kepekaan rasa manusia. Rasa ini biasanya diungkapkan melalui nada-nada gamelan. Pengalaman spiritual dan pesan dari alam semesta yang tidak terbatas hanya mungkin diungkap melalui seni gamelan yang tak terbatas, tidak dengan kata-kata atau bahasa yang terbatas. Bahasa dengan logikanya membatasi pengalaman, sementara seni gamelan sebaliknya, membebaskan sebebas-bebasnya.   Lewat nada-nada musik hasil transformasi dari irama alam tersebut manusia melakukan perenungan spiritual. Gamelan menjadi alat bantu untuk meditasi. Nada-nada gamelan bukan sekedar seni, tetapi merupakan bahasa jiwa, spirit kehidupan, musik Ilahiyah, bahasa pertama yang menjadi pangkal pokok kehidupan. Spiritulitas gamelan ini lah yang tidak dimiliki oleh instument

Panjang Jimat Bersama Nabi

Perayaan peringatan hari lahir Nabi Muhammad lazim disebut Muludan. Di keraton Cirebon, puncak Muludan dilambangkan dengan sebuah prosesi  yang disebut 'Panjang Jimat'. SEBUAH ritual simbolik dramatisasi alegoris lahirnya Nabi Muhammad saw. Sebuah lakon yang menggambarkan kebahagian yang tak bisa dikatakan. Ya, sebuah ekspresi kebahagiaan lahirnya seorang Nabi yang membawa perubahan besar dalam sejarah kehidupan manusia. 'Panjang Jimat' sendiri ada yang mengatakan merupakan benda pusaka utama berupa piring keramik Tiongkok yang berhias tulisan-simetris kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Pada malam kelahiran Nabi, di setiap 12 Rabiulawal, pada puncak acara Grebeg-Mulud, benda-benda pusaka tersebut diarak dalam sebuah prosesi, upacara Panjang Jimat. Sumber yang lain mengatakan kata ‘panjang’ dapat diartikan sebagai ‘tak berhenti’ dan ‘jimat’ berarti ‘siji kang dirumat’ atau ‘satu hal yang dipertahankan’. Panjang Jimat, dengan begitu adalah simbol

Cirebon sebagai Mitigasi Bencana Sosial

Bencana tak hanya alam tapi juga sosial. Bencana sosial. Kedua-duanya tak bisa diprediksi kapan tepatnya terjadi. Tapi kita bisa belajar memahami dan mengenalinya. CIREBON berasal dari kata sarumban. Artinya campuran. Cirebon adalah daerah pelabuhan yang dimasuki banyak bangsa, suku, dan agama yang berbeda. Purwaka Caruban Nagari sudah mendedahkan kepada kita betapa beragamnya Cirebon pada awal terbentuknya. Saya tidak terlalu sepakat kalau Cirebon itu diartikan dengan air rebon (udang kecil) yang berasal dari kata cai rebon. Meskipun memang Cirebon sedari awal dikenal dengan udangnya. Kata 'Cirebon' sendiri kalau kita artikan sebagai 'campuran' adalah sebuah konsep mitigasi bencana. Mitigasi dari bencana sosial berupa perpecahan golongan. Cirebon juga berarti orang-orang di tempat ini adalah masyarakat kosmopolit yang menjadi bagian peradaban dunia, bergaul dengan luwes bergaul dengan siapa saja dan terbuka untuk setiap perubahan. Kalau hari ini,

Kearifan Nadran: "Menerima Juga Harus Memberi"

Nadran dan Sedekah Bumi adalah lambang rasa syukur manusia pada Tuhan. Pada zat yang maha kuasa, yang memberi manusia kehidupan, memelihara bumi tempat kehidupan, dan yang melimpahkan rizki. RITUAL itu semacam bahasa simbolik dari kesadaran yang begitu dalam bahwa manusia hanyalah hamba. Yang tak punya kuasa tanpa kuasaNya. Sebuah laku kolektif yang mungkin susah untuk dipahami kita di zaman ini yang banyak melihat sesuatu dari aspek materialnya belaka. Tapi bagi orang-orang di kampungku, Nadran dan Sesekah Bumi itu semudah kita memahami bahwa kalau kita mengambil/menerima maka kita juga harus memberi. Kalau kita setiap hari mengambil makanan dari laut dan bumi, maka sudah seharusnya kita juga memberi kepada yang punya laut dan bumi. Ini filsafat masyarakat kita dahulu kala. Kearifan yang tak bisa dipahami dengan akal manusia sekarang yang mengeksploitasi alam untuk kepentingan pribadinya saja. Katanya alam boleh dieksploitasi sehabis-habisnya untuk kepentingan ma

Cirebon: Potret Bhinneka Tunggal Ika

Cirebon   merupakan daerah yang dihuni banyak etnis, agama, keyakinan, bahasa, ideologi, dan sebagainya. Dilihat dari sejarahnya, masyarakat di daerah ini memang dikenal beragam. Cirebon, dengan begitu, adalah cermin dari karakter masyarakat Nusantara yang bineka.  PERBEDAAN menjadi hal lumrah bahkan menjadi modal untuk mencapai kesejahteraan bersama. Meski dalam perkembangan banyak gerakan-gerakan radikal, Cirebon hari ini masih menunjukkan wajahnya yang toleran. Banyak orang bertanya kepada saya tentang asal kata Cirebon. Banyak pula sumber yang memberikan jawaban bahwa Cirebon berasal dari ‘cai’ dan ‘rebon’ yang berarti ‘air’ dan ‘udang kecil-kecil’. Tapi menurut hemat saya, yang lebih tepat adalah apa disebutkan dalam naskah  Purwaka Caruban Nagari . Dalam naskah tersebut dikatakan, Cirebon berasal dari kata ‘caruban’ atau ‘sarumban’ yang berarti campuran. Penduduk Cirebon adalah campuran berbagai bangsa, penduduknya beragam. Pengarang naskah  Purwaka Caruban Nagari , Pa