Langsung ke konten utama

Kota Wali dan Anasir "Kemislam"

KOTA wali sebagai penyebutan untuk Kota Cirebon awal kali lahir dari Walikota Khumaedi. Pada tahun 1996 dia meluncurkan kebijakan untuk mencitrakan Kota Cirebon sebagai kotanya wali, kotanya orang yang disucikan umat Islam.

SAYANGNYA, kesan islamilah yang kemudian muncul dari frase "kota wali". Dan hingga hari ini, semangat "kemislam" itu terus dikukuhkan dengan melupakan semangat kewalian atau "walayah" yang sebenarnya.

Saat ada yang menyebut kota wali, seolah muncul penegasan tentang daerah tersebut islamis.

Dalam konteks Cirebon, pada awalnya ide "kota wali" tersebut muncul baru-baru saja. Dan lebih karena besarnya pengaruh politik identitas yang sempit. Juga untuk tujuan pariwisata. Bukan berasal dari para pendiri Cirebon, apalagi Sunan Gunung Jati.

Ada tiga alasan kenapa saya tidak sepenuhnya sependapat, bahkan menolak, anasir-anasir islamis dalam frase "Cirebon kota wali".

Pertama, wali dan kewalian atau "walayah" merujuk pada seorang pemimpin umat Islam yang mempunyai posisi penting di tengah umat. Sebutan ini muncul selalu setelah kematian sang wali. Dalam keseharian, tak seorang pun mengetahui wali. Maka dikenal ucapan, tidak ada yang mengetahui wali kecuali wali. Artinya keberadaannya adalah kerahasiaan Allah.

Konsep "wali" hanya dikenal dalam dunia tasawuf atau tarekat. Banyak ahli fiqh kemudian tidak setuju dengan kewalian. Dan banyak pula fuqoha yang menuduh perbuatan yang berkaitan dengan kewalian ini dengan kesesatan dan bid'ah.

Kalau kita lihat, Cirebon awal dilahirkan dari para pembawa Islam yang bernafaskan tasawuf. Martin van Bruinessen menyebut Sunan Gunung Jati adalah penganut tarekat Kubrawiyah. Kita juga tahu, tarekat Syattariyah diajarkan di keraton-keraton yang pengaruhnya semakin meluas hingga ke tajug-tajug di pelosok desa.

Pesantren-pesantren di Cirebon seperti Buntet dan Bendakerep pun dikenal sebagai pesantren yang menyebarkan ajaran Syattariyah. Tarekat paling populer di Cirebon.

Dari sekian banyak ajaran tasawuf dan tarekat, yang paling kentara adalah kerendahan manusia di hadapan Allah. Yang melahirkan pemahaman tentang kesamaan posisi, derajat, harkat, dan martabat manusia di depanNya. Lepas dari apapun atribut sosial, agama, budaya, yang melekat pada diri manusia.

Jadi, semangat kewalian yang egaliter tersebut tidak tepat jika dinisbatkan pada narasi keislaman yang formalistik belaka. Yang lebih mementingkan penampilan islami tapi menomorduakan perlakuan yang baik kepada orang yang berbeda.

Orang yang punya semangat kewalian tidak akan menghina ajaran agama lain, keyakinan orang lain, simbol-simbol kepercayaan orang lain, dan sebagainya sebagai wujud dari kerendahanan dia di depan Allah. Siapa-siapa yang diterima olehNya, hanya Allah yang tahu. Tugas seorang hamba bukan menjudge isi hati orang lain, tapi tak lebih hanya mengabdi kepadaNya dengan cara mewujudkan kerahmatan Allah (kemaslahatan) bagi seluruh manusia, bahkan alam raya ini. Rahmatan lil 'alamin.

Kedua, pemimpin awal Cirebon, Sunan Gunung Jati, adalah satu-satunya Wali dari walisanga, yang menikah dengan orang Tiongkok. Ini adalah fakta yang tidak bisa ditolak mengenai betapa visi kewalian akan mudah menerima perbedaan dengan tanpa masalah.

Catatan Arya Carbon dalam Purwaka Caruban Nagari juga menunjukkan bagaimana masyarakat Cirebon dibangun atas dasar pluralitas warganya. Dan musuh bersama Cirebon adalah penindasan dan kesewenang-wenangan yang bersumber pada pembedaan kelas masyarakat. Cirebon menolak pemberian pajak karena perbuatan tersebut berakar pada keyakinan bahwa kerajaan yang lebih rendah harus tunduk dan patuh pada kerajaan yang lebih tinggi.

Pandangan diskriminatif ini ditolak mentah-mentah oleh pendiri Cirebon, Walangsungsang atau yang kemudian disebut Cakrabuana. Dia menolak pembayaran itu dan mengatakan bahwa semua manusia itu setara. Maka tak ada yang berada di atas dan di bawah. Tidak ada warga kelas satu dan kelas dua. Yang ada kita semua adalah hamba Allah, orang Islam.

Di sini kita bisa lihat, bagaimana Islam yang teraliri semangat tasawuf selalu memandang manusia secara merdeka dan setara. Semangat itulah yang akhir-akhir ini memudar. Terutama sejak Kompeni dan negara penjajah banyak campur urusan sosial dan agama rakyat, utamanya di lingkungan keraton.

Ketiga, jejak-jejak tentang kewalian yang egaliter dan pluralis di Cirebon itu bisa kita lihat misalnya pada praktik ziarah di kompleks makam Sunan Gunung Jati. Di sana, umat berbagai agama datang untuk berziarah, tidak hanya orang Islam.

Jejak itu bisa pula kita temukan di Paksinagaliman. Kemudian pada petatah-petitih Sunan, contohnya "den welas asih ing sapa pada", artinya sebarkan kasih sayang kepada semua orang. Dan masih banyak lainnya.

Tiga alasan ini saya rasa cukup bagi kita untuk merenungkan kembali bagaimana keislaman kita bersanding erat dengan cara kita bermasyarakat di negara yang plural ini.

Semangat kewalian hendaknya menjadi terang bagi kehidupan bersama alih-alih menjadi sumbu yang memercikan api perbedaan.[Kang Ochid]

Komentar